Teman Baru Bernama Fei Fei
Suasana di Bon Cafe Surabaya, Fei fei terlihat kepalanya |
Sampai di Bandara Juanda Surabaya, kami sudah dijemput Pak De Tato bersama istrinya Bu De Peti. Juga anak tertua mereka yakni mbak Nunuk. Rumah mereka memang dekat Bandara Juanda, perjalanan menggunakan mobil, hanya sekitar 15 menitan.
Langit mendung mengantar perjalanan kami menuju rumah kakak mama itu. Saudara mama berjumlah lima orang. Pak De Tato anak kedua, sedang mama anak keempat. Papa juga anak keempat tapi berasal dari delapan saudara. Kata mama papa, orangtua jaman dulu anaknya memang banyak karena belum ada keluarga berencana. Juga biaya sekolah tak semahal seperti sekarang.
Rumah Pak De Tato sebenarnya lebih besar dibanding rumahku di Depok. Namun terasa sempit karena nggak ada ruang terbuka. Jalan di depan rumah menjadi terasa kecil karena setiap rumah berdempetan tanpa menyisakan halaman. Bedanya lagi, rumah Pak De hawanya gerah. Kata Pak De hawa di Sidoarjo sama seperti di Surabaya, lebih panas dari Jakarta dan Depok.
Aku dan kakak paling nggak tahan dengan hawa panas. Kami pun mencari tempat duduk dengan kipas. Di kamar Pak De sebenarnya ada AC-nya, tapi aku nggak enak karena baru bertamu kok masuk ke kamar pribadi. Mbak Nunuk bilang AC di kamar itu hampir 24 jam menyala. AC itu dimatikan kalau penghuninya pergi. Ya begitulah Surabaya dan sekitarnya.
Papa yang dulu sekolah di Universitas Airlangga, Subaraya selama 4,5 tahun, juga pernah bilang kalau Surabaya memang panas. Dan aku sekarang mengalaminya.
Setelah beristirahat di rumah Pak De, kami segera meluncur ke sebuah restoran. Di restoran itu kami akan bertemu dengan teman mama yang kini menetap di Surabaya, tante Cristine namanya. Kami bertemu di Bon Cafe sebuah restoran yang pengunjungnya ramai sekali.
Aku, Pak De Tato di depanku saat nunggukeluarga Fei Fei | . |
Kami datang duluan dan langsung dapat tempat duduk karena sudah dipesankan oleh tante Cristine. Kami memesan minuman lebih dulu. Seperti biasa, aku dan kakak memesan minuman dingin, sedang papa memilih minuman hangat dan sedikit gula.
Papa dan Mama menghindari makanan manis karena katanya menghindari kena penyakit diabetes atau penyakit gula. Penyakit itu, selain karena keturunan, juga karena makanan. Mama dan Papa punya keturunan penyakit gula, karenanya mereka mencegahnya lewat makanan.
Nah, tak berapa lama kemudian, tante Cristine muncul bersama suami dan dua anaknya. Anak kedua perempuan ternyata seusia dengan aku. Namanya Fei Fei. Aku nggak hapal nama panjangnya. Fei Fei dan kakaknya langsung memesan makanan tertentu tanpa melihat daftar menu. Mereka mungkin sudah terbiasa makan di restoran itu.
Mama dan Tante Cristine sepertinya paling senang selama pertemuan itu. Mereka dulunya memang teman. Dan acara itu seperti reuni. Mereka saling bercerita tentang masa lalu. Sedang papa ngobrol dengan papanya Fei Fei. Aku nggak tahu mereka ngobrol apa. Sepertinya ngobrol politik karena kadang-kadang terdengar menyebut Jokowi yang kini menjadi presiden.
Aku sendiri bingung mau ngapain. Aku melirik Fei Fei asyik dengan dirinya sendiri. Begitu pun dengan kakaknya. Sesekali aku mengobrol dengan mbak Aniyah. Juga bercanda dengan kakak. Kakak Ado tampaknya cuek. Ia sepertinya memilih konsentrasi menikmati makanan restoran yang enak-enak. Kakak memang doyan makan.
Oya, Fei Fei itu wajahnya lucu. Rambutnya pendek. Mukanya seperti papanya. Kata mama, papanya Fei Fei orang China. Kulit dan wajah Fei Fei memang seperti orang China. Beda sekali dengan rambutku yang panjang dan kulitku yang coklat. Kakaknya Fei Fei juga begitu. Beda usia mereka lima tahun. Sedang aku dengan kakak Ado delapan tahun.
Setelah selesai makan, tiba-tiba Fei Fei menyapaku dan mengajakku jalan-jalan. Anehnya aku mau begitu saja menerima tawarannya. Aku seperti diajak oleh orang yang sudah ku kenal. Dan tampaknya Fei Fei hafal dengan setiap sudut restoran itu, aku pun mengikutinya.
Kami pergi ke taman yang ada ayunannya. Di sana sudah banyak anak-anak. Tapi aku dan Fei Fei masih dapat ayunan. Di taman itu aku melihat ada anak-anak bule yang bisa bicara bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Mereka ditemani seorang mbak seperti aku. Bahasa mbaknya medok banget, tapi mbak itu ternyata juga bisa bahasa Inggris. Keren ya.
Fei Fei bertanya dulu padaku. Aku senang nggak di Surabaya.Aku mengangguk. Trus dia bertanya tentang rahasia. Wah tentang rahasia ya. Dia pun bercerita dulu tanpa merasa malu. Aku mendengarnya serius. Lalu giliran aku yang bercerita tentang rahasiaku. Giliran dia yang mendengarkan serius. Setelah itu kami tertawa bersama. Aku dan Fei Fei seperti teman lama. Seperti mama aku dan mamanya Fei Fei yang cerita seru tak peduli orang lain mau mendengar atau tidak.
Tak lama kemudian Fei Fei minta diantar ke toliet karena mau pipis. Kami masuk ke kamar mandi berdua. Di luar pintu seorang ibu ternyata sudah menunggu giliran. Di dalam toilet, Ibu itu terdengar seperti marah-marah. Kami bingung sekaligus takut. Sontak kami pun buru-buru pergi. Tapi ternyata pintu keluar dari ruangan itu susah dibuka. Kami makin ketakutan.
Fei Fei segera membantuku. Dengan tenaga dua anak perempuan, pintu itu akhirnya bisa dibuka. Kami lega dan masuk ke dalam restoran bergabung bersama mama dan papa kami masing-masing. Tapi kami nggak segera bercerita tentang apa yang kami alami. Jelas, pengalaman di Bon Cafe bersama Fei Fei sebagai pengalaman tak terlupakan.
Tak berapa lama kemudian, Fei Fei kembali mengajak aku pergi. Pergi berdua dengannya memang seru. Beda sekali jika tetap bergabung dengan orang-orang tua, kami tak bebas bercerita. Kali ini kami menuju ruangan depan. Di sana ada tempat duduk kosong. Aku dan Fei Fei duduk di sana.
Tapi belum banyak mengeluarkan masing-masing cerita seru, mama dan papa sudah keluar restoran. Rupanya kami akan menuju rumah Fei Fei tak jauh dari kawasan restoran itu. Aku dan Fei Fei segera membubarkan diri, ikut mobil masing-masing. (seri berkiutnya, di rumah Fei Fei)